1. Kencing (buang air kecil/BAK)
Abu Hurairah z berkata: Rasulullah r bersabda:
“Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kalian jika ia berhadats sampai ia berwudhu.” (HR. Al-Bukhari no. 135)
Hadits ini menunjukkan bahwa hadats kecil ataupun besar merupakan pembatal wudhu dan shalat seorang, dan kencing termasuk hadats kecil.
2.Buang Air Besar
Allah I berfirman dalam ayat wudhu ketika menyebutkan perkara yang mengharuskan wudhu (bila seseorang hendak mengerjakan shalat):
“Atau salah seorang dari kalian kembali dari buang air besar…” (Al-Maidah: 6)
Dengan demikian bila seseorang buang air besar (BAB) batallah wudhunya.
3. Keluar angin dari dubur (kentut)
Angin yang keluar dari dubur (kentut) membatalkan wudhu, sehingga bila seseorang shalat lalu kentut, maka ia harus membatalkan shalatnya dan berwudhu kembali lalu mengulangi shalatnya dari awal.
Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim Al-Mazini z berkata: “Diadukan kepada Rasulullah r tentang seseorang yang menyangka dirinya kentut ketika ia sedang mengerjakan shalat. Maka beliau r bersabda:
“Jangan ia berpaling (membatalkan shalatnya) sampai ia mendengar bunyi kentut (angin) tersebut atau mencium baunya.” (HR. Al-Bukhari no. 137 dan Muslim no. 361)
Abu Hurairah z berkata: Rasulullah r bersabda:
“Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kalian jika ia berhadats sampai ia berwudhu.” (HR. Bukhari no. 135)
Mendengar penyampaian Abu Hurairah z ini, berkatalah seorang lelaki dari Hadhramaut: “Seperti apa hadats itu wahai Abu Hurairah?” Abu Hurairah menjawab: “Angin yang keluar dari dubur (kentut) yang bunyi maupun yang tidak bunyi.”
Sementara perkataan Abu Hurairah ini dijelaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani t, beliau berkata: “Abu Hurairah menjelaskan tentang hadats dengan perkara yang paling khusus (yaitu angin dari dubur) sebagai peringatan bahwa angin dari dubur ini adalah hadats yang paling ringan sementara di sana ada hadats yang lebih berat darinya. Dan juga karena angin ini terkadang banyak keluar di saat seseorang melaksanakan shalat, tidak seperti hadats yang lain.” (Fathul Bari, 1/296)
Hadits ini dijadikan dalil bahwa shalat seseorang batal dengan keluarnya hadats, sama saja baik keluarnya dengan keinginan ataupun terpaksa. (Fathul Bari, 1/269)
Aisyah x berkata: Salma, maula Rasulullah r atau istrinya Abu Rafi‘ maula Rasulullah r, datang menemui Rasulullah r. Ia mengadukan Abu Rafi’ yang telah memukulnya. Rasulullah r pun bertanya kepada Abu Rafi’: “Ada apa engkau dengan Salma, wahai Abu Rafi‘?” Abu Rafi‘ menjawab: “Ia menyakitiku, wahai Rasulullah.” Rasulullah bertanya lagi: “Dengan apa engkau menyakitinya wahai Salma?” Kata Salma: “Ya Rasulullah, aku tidak menyakitinya dengan sesuatupun, akan tetapi ia berhadats dalam keadaan ia sedang shalat, maka kukatakan padanya: ‘Wahai Abu Rafi‘, sesungguhnya Rasulullah r telah memerintahkan kaum muslimin, apabila salah seorang dari mereka kentut, ia harus berwudhu.’ Abu Rafi‘ pun bangkit lalu memukulku.” Mendengar hal itu Rasulullah r tertawa seraya berkata: “Wahai Abu Rafi‘, sungguh Salma tidak menyuruhmu kecuali kepada kebaikan.” (HR. Ahmad 6/272, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil t dalam Al-Jami’ush Shahih, 1/521)
Adapun orang yang terus menerus keluar hadats darinya seperti penderita penyakit beser (kencing terus menerus) (Al-Fatawa Al-Kubra, Ibnu Taimiyah t, 1/282) atau orang yang kentut terus menerus atau buang air besar terus menerus maka ia diberi udzur di mana thaharahnya tidaklah dianggap batal dengan keluarnya hadats tersebut. (Asy-Syarhul Mumti’, 1/221)
4. Keluar Madzi
Keluarnya madzi termasuk pembatal wudhu sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Ali bin Abi Thalib z. Ali berkata: “Aku seorang yang banyak mengeluarkan madzi, namun aku malu untuk bertanya langsung kepada Rasullah r karena keberadaan putrinya (Fathimah x) yang menjadi istriku. Maka akupun meminta Miqdad ibnul Aswad z untuk menanyakannya kepada Rasulullah r. Beliau r pun menjawab:
“Hendaklah ia mencuci kemaluannya dan berwudhu.” (HR. Al-Bukhari no. 269 dan Muslim no. 303)
5. Keluar Wadi
Keberadaan wadi sama halnya dengan madzi atau kencing sehingga keluarnya membatalkan wudhu seseorang.
6. Keluar Darah Haid dan Nifas
Darah haid dan nifas yang keluar dari kemaluan (farji) seorang wanita adalah hadats besar yang karenanya membatalkan wudhu wanita yang bersangkutan. Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah di atas tentang batalnya wudhu karena hadats. Dan selama masih keluar darah haid dan nifas ini diharamkan baginya mengerjakan shalat, puasa dan bersenggama dengan suaminya sampai ia suci.
Dikecualikan bila darah dari kemaluan itu keluar terus menerus di luar waktu kebiasaan haid dan bukan disebabkan melahirkan, seperti pada wanita yang menderita istihadhah, karena wanita yang istihadhah dihukumi sama dengan wanita yang suci sehingga ia tetap mengerjakan shalat walaupun darahnya terus keluar. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t berkata: “Bila si wanita yang menderita istihadhah itu ingin berwudhu untuk shalat hendaknya ia mencuci terlebih dahulu kemaluannya dari bekas darah dan menahan keluarnya darah dengan kain.” (Risalah fid Dima’ Ath-Thabi’iyyah Lin Nisa, hal. 50)
7. Keluarnya Mani
Seseorang yang keluar maninya wajib baginya mandi, tidak cukup hanya berwudhu, karena dengan keluarnya mani seseorang dia dihukumi dalam keadaan junub/ janabah yang berarti dia telah hadats besar. Berbeda dengan kencing, BAB, keluar angin, keluar madzi dan wadi yang merupakan hadats kecil sehingga dicukupkan dengan wudhu.
8. Jima’ (senggama)
Abu Hurairah z mengabarkan bahwa Rasulullah r pernah bersabda:
“Apabila seorang suami telah duduk di antara empat cabang istrinya kemudian dia bersungguh-sungguh padanya (menggauli istrinya), maka sungguh telah wajib baginya untuk mandi (janabah).” (HR. Al-Bukhari no. 291 dan Muslim no. 348)
Dalam riwayat Muslim ada tambahan:
“Sekalipun ia tidak keluar mani.”
Dari hadits di atas kita pahami bila jima‘ (senggama) sekalipun tidak sampai keluar mani menyebabkan seseorang harus mandi, sehingga jima‘ perkara yang membatalkan wudhu.
batasan-batasan
Assalamu alaikum wr.wb.
Wudhu adalah syarat sahnya sholat, wudhu merupakan perintah wajib ketika akan menunaikan sholat. Ketika wudhu tidak sempurna maka akan mengakibatkan sholatnya tidak sah dan tertolak oleh Alloh swt, sebagaimana sebuah riwayat menceritakan seorang sahabat yang diperintahkan Rosul mengulang sholat yang dia telah lakukan sebanyak 3x hanya karena kecerobohan meninggalkan satu bagian di bawah matakaki yang menjadi bagian yang wajub di basuh. Hanya saja kita perlu memahami bagian anggota tubuh manakah yang menjadi rukun (tidak boleh dikurangi apalagi ditinggalkan). Dalam Qs 5 : 6, Alloh swt mengajarkan kepada kita beberapa hal :
1. Awal ayat ini menggunakan kata "hai orang beriman". Berarti ayat ini di khususkan hanya untuk mereka yang beriman dan biasanya ada sebuah komitmen yg harus di taati oleh orang beriman tersebut sebagai konsekwensi jika mengaku seorang mukmin.
2. Ada 4 anggota tubuh wajib dibasuh / usap tanpa boleh dikurangi batasannya apalagi di tinggalkan, yaitu : wajah, kedua tangan sampai sikut, kepala dan kaki sampai mata kaki.
3. Batasan dan cara melaksanakannya.
A. Wajah : ( batasannya sampai anak rambut, anak daun telinga dan dagu). Ayat ini menggunakan kata Faghsilu : "basuh" bukan mengguyur, jadi dengan bantuan tangan jemari kita yg basah kita dapat meratakan air ke seluruh bagian wajah yg wajib di basuh. Waspadalah dengan kosmetik yang terbuat dari bahan anti air baik (bedak, lipstik, tabir surya, maskara) maka tidak akan sempurna wudhunya karena yang terbasuh adalah lapisan kosmetik tersebut bukan wajahnya.
B. Kedua tangan sampai sikut, batasannya jelas dari ujung jemari bukan ujung kuku (karena kulit dibawah kuku yang panjang juga harus terbasuh air wudhu) sampai sikut. Waspadalah terhadap benda yang menghalangi air wudhu seperti cincin, cat kuku atau bahan lain yang menempel di kulit maka akan mengakibatkan tidak sah wudhu dan sholatnya. Cara melakukannya dengan cukup dibasuh tanpa harus mengguyur, jadi tanpa harus di buka lengan bajunya tapi jika jemari tangan yang basah dapat meraba sampai batasan sikut sudah dianggap sah wudhunya.
C. Kulit Kepala bukan rambut, cara pelaksanaannya juga bukan di guyur tetapi wamsahuu "diusap".
D. Kaki sampai mata kaki, waspadalah terhadap budaya ceroboh ketika membasuh kaki hanya menyiram dengan gayung atau dengan guyuran keran air tanpa dibantu jemari meratakannya.
Inilah yang menjadi batasan minimalis dalam berwudhu yang menjadi mutlak harus dilakukan dengan sempurna. Jika batasan minimalis wudhunya tidak sempurna maka sholat yang kita kerjakan walau begitu khusyu dan baik tapi tetap dianggap nol oleh Alloh swt. Jika masih ada permintaan dispensasi dalam batasan minimalis dalam anggota wudhu hanya dengan alasan darurat, tetapi darurat itu harus siap dengan jawaban yang dapt dipertanggungjawabkan setiap pelaku agar selamat ketika diminta pertanggung jawabannya kelak saat eksekusi alam akhirat dihadapan Alloh swt dan para malaikat.
Wallahu a'lam bish-shawab
Wassalamu alaikum wr.wb
Nur Hamidah, Lc, MA