1.    Pengertian Metodologi Studi Islam
            Metode adalah cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk memcapai tujuan (dalam ilmu pengetahuan dsb). Atau cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.
            Metode juga dapat diartikan sebagai cara yang paling cepat dan tepat dalam melakukan sesuatu. Studi mengandung arti memahami, mempelajari, mengkaji dan meneliti. Penelitian atau riset adalah suatu metode studi yang dilakukan seorang melalui peyelidikan yang hati-hati dan sempurna terhadap suatu masalah sehingga diperoreh pemecahan yang tepat terhadap masalah tersebut. Sebagian ulama' mendefinisikan islam sebagai:
            "Wahyu allah yang disampaikan kepada nabi muhammad saw. sebagaimana terdapat dalam al-qur'an dana as-sunnah , berupa undang-undang serta aturan-aturan hidup sebagai petunjuk bagi seluruh manusia untuk mencapai kesejahteraan dan kedamaian hidup di dunia dan akhirat." 
            Metode berasal dari dua perkataan yaitu meta yang artinya adalah melalui dan hodos yang berarti jalan atau cara. Dapat disimpulkan bahwa metode adalah suatu jalan atau cara yang dilalui untuk mencapai suatu tujuan. Adapun istilah metodologi berasal dari kata metoda dan logi. Logi berasal dari bahasa Yunani yang memiliki arti akal atau ilmu. Jadi metodologi artinya ilmu tentang jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan.
            Ada pula yang mengatakan bahwa metode adalah suatu cara untuk menemukan, menguji, dan menyusun data yang diperlukan bagi pengembangan disiplin ilmu tersebut. Ada pula yang mengatakan metode adalah suatu jalan untuk mencapai suatu tujuan, 
            Jalan untuk mencapai tujuan itu bermakna ditempatkan pada posisinya sebagai suatu cara untuk menemukan, menguji dan menyusun data yang diperlukan bagi pengembangan ilmu atau tersistematisasikannya suatu pemikiran.
            Metodologi studi islam adalah suatu kajian atas seperangkat konsep-konsep tentang paradigma, pendekatan dan metode yang dipergunakan untuk mengkaji dan meneliti islam sebagai obyek studi.
            Istilah metodologi studi islam digunakan ketika seorang ingin membahas kajian- kajian seputar ragam metode yang biasa digunakan dalam studi islam. Metodologi studi islam mengenal metode- metode itu sebatas teoritis. Seseorang yang mempelajarinya juga belum menggunakannya dalam praktik. Ia masih dalam tahap mempelajari secara teoritis bukan praktis.
BAB II
PEMBAHASAN
PENDEKATAN TEOLOGI DALAM STUDI ISLAM
A.    Defenisi Teologi
             Teologi  berasal dari bahasa Yunani theos, yang berarti “Tuhan” dan logia,  “kata-kata, ucapan”, atau wacana-wacana yang berdasarkan nalar mengenai  agama spiritualitas dan Tuhan. Dengan demikian, teologi adalah ilmu yang  mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan  keyakinan beragama.
            Sebagaimana  dilihat dari pengertian diatas teologi membahas tentang dasar-dasar  ajaran agama, maka dalam bahasa arab ajaran-ajaran dasar tentang agama  disebut usul al-din, ajaran-ajaran dasar agama disebut juga aqa’id yang  artinya keyakinan-keyakinan.[1]
            Teologis  normative dalam memahami agama secara harkiah dapat diartikan sebagai  upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang  bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud nyata dari suatu keagamaan  dianggap sebagai yang paling besar dibandingkan dengan yang lainnya. 
            Pendekatan  teologi dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan  pada bebtuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk  forma atau simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai  yang paling benar sedangkan aliran yang lainnya salah. Aliran teologi  yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa fahamnyalah yang paling benar  sedangkan faham yang lainnya salah, sehingga memandang orang lain  keliru, sesat, kafir, murtad dan seterusnya[2].
Beberapa istilah kunci dalam Teologi Islam yaitu, tauhid, kalam, dan Aqidah
A.      TAUHID
 Defenisi Tauhid
  Defenisi Tauhid          Tauhid  berasal berasal dari bahasa arab dari kata wahada, yuwahhidu, tauhid,  asal arti tauhid ialah mengesakan, maksudnya mengi’tiqodkan bahwa Allah  adalah Esa.[3]
 Lahirnya Tauhid sebagai Komponen Ilmu
 Lahirnya Tauhid sebagai Komponen Ilmu          Sumber  Ilmu adalah Al-Qur’an dan hadist yang dikembangkan dengan dalil-dalil  aqal disuburkan denganpola fikir filsafat dan unsur-unsur lainnya  sekitar dua abad setelah wafatnya Rasulullah SAW.
          Menurut Muhammad Amin dalam bukunya islam dan faktor-faktor yang melatar belakangi lahirnya ilmu tauhid ada dua yaitu:
·    Faktor eksternal
Yang datangnya dari dalam diri sendiri, misalnya:
a.       Al-Qur’an, disamping berisi ketauhidan, kenabuan dan sebagainya.
b.       Pada  mulanya, keimanan umat umat islam tidak dipermasalahkan secara  mendalam, tetapi setelah nabi wafat dan umat islam telah bersentuhan  dengan kebudayaan asing mereka baru mengenal, dan merasa penting untuk  memperdalam ilmu tauhid.
c.       Masalah polotik terutama tentang khilafah menjadi faktor pula dalam kelahiran ilmu tauhid.
·    Faktor Eksternal
          Faktor yang datangnya dari luar kalangan islam seperti pola pikir ajaran agama lain yang masuk ke ajaran islam[4]. 
B.       Kalam
 Pengertian Ilmu Kalam
      Pengertian Ilmu Kalam            Menurut  Ibnu Khaldun, sebagai mana dikutip A. Hanafi bahwa ilmu kalam adalah  “ilmu yang berisikan alasan-alasan yang mempertahankan  kepercayaan-kepercayaan. Iman dengan menggunakan dalil-dalil fikiran dan  berisi bantahan-bantahan terhadap orang yang menyelewengkan dari  kepercayaan aliran golongan, salaf dan sunnah’.
            Selain  itu ada pula yang mengatakan bahwa ilmu kalam ialah ilmu yang  membicarakan bagaimana menetapkan kepercayaan-kepercayaan keagamaan  dengan bukti-bkti yang meyakinkan. Di dalam ilmu ini dibahas tentang  cara ma’rifah (mengetahui secara mendalam) tentang sifat-sifat Allah dan  para rasulNya dengan menggunakan dalil yang pasti untuk mencapai  kehidupan abadi. Ilmu ini termasuk induk ilmu agama dan paling utama dan  paling mulia, karena berkaitan dengan Zat Allah dan para RasulNya.[5]
C.  Aqidah
Pengertian Aqidah
            Aqidah kepada Islamiyyah adalah ilmu kepada Allah, para  MalaikatNya,  kitab-kitabNya, para Rasulnya hari akhir kepada Qoda dan Qodar baik dan buruk keduanya dari Allah.
            Sedangkan  pengertian aqidah/iman : aqidah adalah ajaran tentang keimanan terhadap  keesaan Allah iman artinya: Percaya disebut juga Aqoid atau aqidah  segala yang berhubungan dengan kepercayaan disebut dengan iman, iman itu  sejenis ibadah yang dilakukan dengan hati, dengan ringkas dapat  dikatakan tempat iman itu ada di dalam hati.
v  Ruang Lingkungan Aqidah/Iman meliputi:
1.      Iman kepada Allah
2.      Iman kepada Malaikat Allah
3.      Iman kepada Kitab-kitab Allah
4.      Iman kepada Nabi dan Rasul Allah
5.      Iman kepada Hari Akhir
6.      Iman kepada Qodo dan Qodar
            Dalam  hadist riwayat Muslim dinyatakan bahwa iman itu memiliki 60 sampai 70  cabang, dan cabang yang paling tinggi kualitasnya adalah ikrar. Ikrar  dari  Syahadat tauhid ini memiliki arti sesembahan yang hak selain Allah dalam Syahadat ia memiliki dua rukun.
1.      An-Nafyu  atau peniadaan (Lailaha) yakni membatalkan syirik dengan segala bentuk  dan mewajibkan kekafiran terhadap segala apa yang disembah selain Allah.
2.      Al-Isbat atau penetapan bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah dan mewajibkan pengamalan sesuai konsekuensinya.
D.    ALIRAN-ALIRAN TEOLOGI ISLAM
a.    Khawarij
Secara  etimologis katakhawarij berasal dari bahasa Arab, yaitu khuraja yang  berarti keluar, muncul, timbul, atau memberontak. Ini yang mendasari  Syahrastani untuk menyebut khawarij terhadap orang yang memberontak imam  yang sah. Berdasarkan pengertian etimologi ini pula, khawarij berarti  setiap muslim yang ingin keluar dari kesatuan umat Islam.
Adapun  yang dimaksud khawarij dalam terminologi ilmu kalam adalah suatu  skte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar  meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang  menerima arbitrase (tahkim), dalam perang Siffin pada tahun 37 H/648 M,  dengan kelompok bughat (pemberontak) Muawiyah bin Abi Sufyan perihal  persengketaan khilafah.[6]
Doktrin Teologi  aliran Khawarij adalah :
Ø Mudah mengkafirkan orang yang tidak segolongan dengan mereka walaupun orang itu adalah penganut agama islam.
Ø Islam  yang benar adalah Islam yang mereka pahami dan amalkan, sedangkan Islan  sebagaimana yang dipahami dan diamalkan golongan lain tidak benar.
Ø Orang-orang  Islam yang tersesat dan menjadi kafir perlu dibawa kembali ke Islam  yang sebenarnya, yaitu Islam seperti yang mereka pahami dan amalkan.
Ø Karena  pemerintahan dan ulama yang tidak sefaham dengan mereka adalah sesat,  maka mereka memilih imam dari golongan mereka sendiri, yakni imam dalam  arti pemuka agama dan pemuka  pemerintahan.
Ø Mereka bersifat fanatik dalam faham dan tidak segan-segan menggunakan kekerasan dan membunuh untuk mencapai tujuan mereka.
b.  Murji’ah
Nama  Murji’ah diambil dari kata irja atu arja’a yang bermakna penundaan,  penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a mengandung pula arti memberi  harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh ampunan Allah. Selain  itu, arja’a berarti pula meletakkan dibelakang atau mengemudikan, yaitu  orang yang mengemudikan amal dari iman. Oleh karena itu Murji’ah artinya  orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa,  yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat  kelak.
Doktrin-doktrin teologi Murji’ah :
Ø Iman  adalah percaya kepada Allah dan rasulnya saja. Adapun amal atau  perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan  hal ini, seseorang tetap dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan  yang difardukan dan melakukan dosa besar.
Ø Dasar  keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman di hati, setiap  maksiat tidak dapat mendatangkan mudharat ataupun gangguan atas  seseorang. Untuk mendapatkan pengampunan, manusia cukup hanya dengan  menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid. 
c.       Jabariyah
Kata  Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Di dalam  Al-munjid, dijelaskan bahwa Jabariyah berasal dari kata jabara  yang  mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Kalau  dikatakan, Allah mempunyai sifat Al-Jabbar (dalam bentuk mublaghah), itu  artinya Allah maha memaksa. Ungkapan al-insan majbur (dalam bentuk isim  maf’ul) mempunyai arti bahwa manusia dipaksa atau terpaksa.  Selanjutnya, kata jabara (bentuk pertama) setelah ditarik menjadi  jabariyah (dengan menambah ya nisbah), memiliki arti suatu kelompok atau  aliran (isme).[7] Lebih lanjut Asy-Syahratsan menegaskan, bahwa faham al-jabr berarti  menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan  menyandarkannya kepada Allah. Dengan kata lain, manusia mengerjakan  perbuatannya dalam keadaan terpaksa.[8]
Para pemuka Jabariyah beserta doktrin-doktrinnya :
Menurut  Asy-Syahratsani, Jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian,  ekstrim dan moderat. Di antara Jabariyah ekstrimadalah pendapatnya bahwa  segala perbuatan manusia bukan merupakan pebuatan yang timbul dari  kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya..
Diantara pemuka jabariyah ekstrim adalah: 
1.         Jahm bin Sofwan
Pendapat  Jahm yang berkaitan dengan teologinya adalah: Manusia tidak mampu untuk  berbuat apa-apa. Surga dan neraka tidak kekal. Iman adalah ma’rifat  atau pembenaran dalam hati. Kalam Tuhan adalah makhluk.
2.         Ja’d binDirham
Doktrin pokok ja’d secara umum sama dengan fikiran Jahm. Al-  Ghuraby  menjelaskannya sebagai berikut: Al-Qur’an adalah makhluk. Allah tidak  mempunyi sifat yang serupa dengan makhluk, sepeti berbicara, melihat,  dan mendengar. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
Berbeda  dengan Jabariyah ekstrim, Jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan  memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun  perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai efek untuk mewujudkannya.
Yang termasuk tokoh Jabariyah moderat berikut ini adalah:
1.        An Najjar Diantara pendapatnya adalah:
Ø  Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu.
Ø  Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat.
2.       Adh-Dhirar
Doktrin-doktrinnya adalah:
Ø  Manusia tidak hanya dalang yang digerakkan oleh wayang.
Ø  Tuhan dapat dilihat diakhirat melalui indera keenam.
d.  Qadariyah
            Qadariyah  berasal dari bahasa arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan  atau kekuatan. Adapun menurut pengertian terminologi, Qadariyah adalah  suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak  diintervensi oleh tuhan.
Aliran  ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala  perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas  kehendaknya sendiri.
            Seharusnya,  sebutan Qadariyah diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa qadar  menentukan segala tinglah laku manusia, baik yang bagus maupun jahat.  Namun, sebutan tersebut telah nelejat kaum sunni, yang percaya bahwa  manusia mempunyai kebebasan berkehendak.[9]
Doktrin-doktrin Qadariyah
Ø Mewujudkan tindakan manusia tanpa campur tangan tuhan.
Ø Manusia hidup mempunyai daya, ia berkuasa atas perbuatannya.
Ø Berhak  mendapatkan pahala atas kebaikannya ysng dilakukannya dan berhak pula  memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya.
e.       Mu’tajilah
            Secara  harfiah, kata Mu’tajilah berasal dari kata i’tajala yang berarti  berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan  diri. Secara teknis, istilah murji’ah menunjuk pada dua golongan.
            Golongan  pertama(selanjutnya disebut Mu’tajilah I) muncul sebagai respon politik  murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik,khususnya dalam  arti bersikap lunak da menandatangani pertentangan antara Ali bin Abi  Thalib dan lawan-lawannya,terutama Mua’wiyah, Aisyah dan Abdullah bin  Jubair’. Menurut seorang penulis,golongan inilah yang mula-mula disebut  kaum Mu’tajilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah  khilafah.[10]
            Golongan  kedua(selanjutnya disebut Mu’tajilah II) muncul sebagai respon  persoalan teologis yang berkembang dikalangan Khawarij dan Murji’ah  akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini  muncul  karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Murji’ah  tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar.
DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abudin, Metodologi Studi Islam, Raja Grafindo Persada. Jakarta,2011.
Hup/tsalatsin.Blogspot.com/2009/11/Sejarah munculnya teologi islam.Html.
Rozak, Abdul, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung,2001.
Muhammad, Tengku, Ash-Shiddiqy,Hasbi, Ilmu Tauhid/Kalam,Pustaka Rezki Putra, Semarang, 2010.
Monang, Sori, Diktat Ilmu Tauhid

