Rabu, 08 Agustus 2012 - 09:04:45 WIB
Marlin Sugama, Membangun Bisnis Kreatif dari Hobi
Diposting oleh : d4nu - Dibaca: 966 kali
Hobi bisa menghasilkan uang. Itulah yang dilakukan Marlin Sugama. Melalui bisnis kreatif yang digelutinya, bisnis Marlin paling tidak bisa mengantongi pemasukan sebesar separo miliar rupiah.
Sebagian di antara anda, mungkin tidak akan mengenal Marlin. Namun namanya sebenarnya dikenal melalui sosok orangnya, namun pada hasil karyanya. Bersama rekan bisnisnya dan sang suami, Marlin menciptakan sederet film animasi, seperti Sesame Street (dalam versi bahasa Indonesia Jalan Sesama). Ia juga dikenal melalui karakter ikon animasi Si Hebring, tokoh fantasi superhero ikon Indonesia yang mengambil nama dari bahasa Sunda yang artinya ‘Bagus’.
Merlin mengatakan, bisnis kreatif yang digelutinya sekarang ini berangkat dari hobinya yang amat gemar terhadap game. Kalau boleh disebut, Merlin merupakan pengusaha yang lahir dari hobi yang pernah populer pada tahun 2005 dengan sebutan hobinomics, yakni sebuah era ekonomi baru dimana kegiatan ekonomi dihasilkan dari sebuah hobi. Dari hobi atau kesenangan terhadap sesuatu memunculkan sebuah peluang yang bisa menghasilkan rupiah. Industri kreatif menjadi salah satu bidang industri yang berpotensi untuk tumbuhnya hobinomics ini. Tak terhitung lagi banyaknya entrepreneur yang tumbuh dan mendirikan sebuah usaha berdasarkan hobinya. Adrie Subono, Wahyu Aditya, Yorris Sebastian Nisiho, Chris Lie adalah beberapa nama di antara pelaku hobinomics. Marlin Sugama adalah salah satu diantara sekian banyak nama pelaku hobinomics di industri kreatif.
David Parrish, creative industries business adviser and trainerdalam bukunya T-Shirts and Suits: A Guide to the Business of Creativity mengungkapkan bahwa banyak orang yang mengibaratkan kreativitas dan bisnis seperti air dan minyak. “Kedua hal ini tidak bisa disatukanpadukan. Menjadikan bisnis dan kreativitas sebagai sebuat patner, ukannya saling bertentangan,” kata David dalam bukunya. Dan Marlin berhasil menggabungkan antara ide dan kreativitas dengan sisi komersial.
Marlin adalah co-founder Main Studio, sebuah perusahaan pengembang game dan animasi yang didirikan karena hobinya pada dunia entertainment digital. Berkat hobinya bermain game dan nonton film mengantarkan Marlin pada bisnis yang tak hanya sekedar menyalurkan hobi tapi juga memiliki nilai ekonomis yang tak bisa dianggap remeh.
Antara Desain dengan Story Telling
Marlin mengatakan, ide bisnisnya ini justru berawal dari hobi dan kesenangannya terhadap dunia digital entertainment khususnya game. Hobi ini akhirnya mengantar Marlin dengan dua rekannya, Andi Martin (sekarang menjadi suaminya) dan M. Fardiansyah (Fafan) membangun studio pengembang game bernama Altermyth Studio di tahun 2003. Sayangnya, 3 tahun kemudian Marlin menjual Altermyth ini ke tangan investor karena ketidaksesuaian visi. Pasca lepasnya Altermyth Studio, Marlin dengan rekan sekaligus suaminya Andi Martin dan Fafan kembali mendirikan studio pengembang game yang diberi nama Main Games Studio tepat di bulan Juli 2007.
Modal yang digelontorkan di awal pun tak lebih dari Rp100 juta karena saat itu Marlin hanya mengerjakan satu produk per waktu (one product at a time). Pengalaman berbisnis di bidang yang sama memberikan keuntungan bagi ibu dua anak ini karena jejaring yang sudah terbentuk. Meski demikian, Marlin juga merasakan kendala di awal bisnis. Di antaranya adalah memperkenalkan Main Studios pada publik karena biasanya studio baru sulit mendapat kepercayaan dari klien. Hal ini tak lain karena produk yang dijual pada dasarnya jasa. Untuk itu, portofolio dan prestasi Main Games menjadi nilai penting agar dilirik oleh kliennya. Menyadari pentingnya portofolio yang cemerlang maka Marlin memutuskan mengikuti lomba ICT Award (INAICTA) 2007 silam. “Untuk mendapatkan kepercayaan kami mengikuti banyak lomba,” jelas Marlin.
Kerja keras Marlin membuahkan hasil dengan menyabet gelar juara dalam INAICTA 2007 untuk kategori animasi. “Setelah mendapatkan prestasi berupa award, kami sudah mendapatkan kepercayaan dan pengakuan dari klien,” imbuh Marlin. Sejak itulah, order dari klien pun mulai berdatangan ke tangan Main Games Studio. Marlin sangat menyadari bisnisnya yang berbasiskan ide kreatif atau intangible asset ini sangat rawan terhadap pembajakan. Untuk itulah, intellectual property menjadi salah satu isu penting dalam bisnisnya.
Marlin pun mendirikan Main Motions Studio di tahun 2009 demi menghasilkan karya animasi yang memiliki IP, karena selama ini Main Games Studio banyak mengerjakan proyek outsourcing. Selain itu, Main Motions Studio ini berperan sebagai divisi pengembang animasi dari Main Games Studio karena tingginya demand pembuatan animasi. Terhitung Sesame Street Indonesia, Nokia, Miniclip.com, Games2Win dan Megindo menjadi klien Marlin. “Sebagian besar client studio kami masih berasal dari luar negeri seperti Amerika Serikat, Inggris dan India,” imbuh Marlin.
Salah satu produk andalan dari Main Motions Studio adalah Hebring. Hebring adalah karakter animasi yang namanya diambil dari bahasa Sunda yang artinya hebat. Hebring diciptakan pertama kali pada tahun 2007 untuk mengikuti kompetisi animasi tingkat nasional (INAICTA). “Awalnya kami tidak bermaksud untuk mengkomersialkan Hebring, namun setelah menang kompetisi Hebring jadi banyak dikenal dan banyak pihak yang menjadi tertarik untuk menggunakan jasa pembuatan animasi dari Main Studios,” ujarnya.
Ide Hebring ini datang dari rasa penasarannya dengan tidak adanya karakter fantasi yang menjadi ikon Indonesia. Akhirnya, Marlin mengangkat urban culture perkotaan dibungkus dengan cerita klasik kebaikan memerangi kejahatan. Dan jadilah Hebring sesosok pahlawan super yang berasal dari Jawa Barat yang berusaha memerangi kejahatan di ibukota Jakarta.
Menurut Marlin, konsep Hebring bukan hanya sebuah animasi semata, karena Hebring adalah produk IP yang dapat dikembangkan ke berbagai bentuk produk. Hebring sendiri memiliki keunikan karena konsepnya yang sederhana dan mudah diterima dari segi pemilihan warna dan bentuk. Pemilihan segmen urban culture ini tak lain bermaksud untuk menghindari kendala di sisi komersial. Selama ini, banyak animasi yang mengambil tema nasionalisme Indonesia, namun secara komersialtak bersahabat. Saat ini Hebring telah dikembangkan menjadi animasi, game, komik, mainan (toys) dan berbagai merchandise seperti sticker dan clothing line.
Bisnis di dunia game dan animasi memang kian menjamur. Persaingan pun kian ketat. Untuk itu, Marlin sudah menyiapkan berbagai amunisi untuk menghadapi persaingan. Marlin mendiferensiasi Main Studios dalam membangun sebuah produk.
Ibu dari Gabril Owen dan Ariel Jeska ini menyakini semua produk digital entertainment harus memiliki cerita untuk disampaikan pada end user sehingga bisa dinikmati produknya. “Jadi untuk setiap pengembangan produk kami akan membuat script terlebih dahulu, baru kemudian produksi produk tersebut kami eksekusi berdasarkan script,” jelas penggiat industri kreatif yang tergabung dalam International Game Developer Association ini. Selebihnya dengan mengutamakan kualitas produk yang berusaha di deliver oleh Marlin.
Kini Marlin boleh tersenyum lega, usaha kerasnya mulai membuahkan hasil. Di tahun keduanya, Marlin telah berhasil membukukan pendapatan sekitar 50 ribu dollar AS per bulan atau sekitar Rp 500 juta per bulan dengan asumsi satu dolar Rp 10 ribu. Marlin mematok tariff berbeda untuk masing-masing proyek.
Untuk game tarifnya dihitung berdasarkan per man per days. Sedangkan animasi dihitung dari durasi tampilan film di layar (per finished second). Dan untuk digital comic dihitung berdasarkan halaman. Sayangnya, Marlin enggan memberikan perincian lebih lanjut. Hanya saja, Marlin menegaskan dari masing-masing nilai proyek bisa meraup nett profit sekitar 25% untuk klien lokal. “Untuk klien internasional kami bisa mendapatkan profit lebih dari 100%, karena standar internasional lebih tinggi dari Indonesia,” imbuh ibu dari dua putra ini. Pecinta buku Enid Blyton ini pun mengakui bahwa profit margin bisnis game dan animasi dapat dikatakan cukup besar per project-nya. Hal ini memungkinkan karena tak membutuhkan bahan baku material. Selain itu, Marlin meraup keuntungan dari konversi dollar ataupun euro ke rupiah karena banyaknya klien internasional.
Tak mengherankan bila Main Studios mampu meraih pendapatan hampir setengah miliar per bulannya. Marlin mengungkap karena Main Studios adalah perusahaan B2B (business to business) dengan target market-nya adalah perusahaan yang ingin menggunakan jasa pembuatan game dan animasi. Kliennya sendiri pun sebagian besar adalah biro iklan (advertising) dan consultant. Selain itu, usaha yang tadinya hanya memiliki empat orang karyawan, kini mampu mempekerjakan 10 orang dalam jangka waktu satu tahun.
Marlin pun tetap optimis terhadap prospek bisnis ke depannya. “Kami yakin bisnis digital entertainment akan semakin berkembang, apalagi melihat perkembangan teknologi yang semakin cepat, semakin banyak platform baru untuk kami,” kata sarjana ekonomi lulusan Universitas Pelita Harapan ini. Secara internasional, business digital entertainment sudah terbukti berhasil mengalahkan industri entertainment lainnya. Pendapatan industri game secara keseluruhan telah berhasil mengalahkan industri Hollywood pada tahun 2002 dan industri musik pada tahun 2009 ini. Di tahun 2004 saja, nilai pasar industry game telah mencapai US$20 juta atau sekitar Rp186 triliun. Sedangkan untuk animasi, jumlah film animasi yang diputar per tahunnya terus meningkat dengan pendapatan tiket rata-rata sekelas box office Hollywood pada tahun 2009 ini. (*/SurabayaPost)
Diposting oleh : d4nu - Dibaca: 966 kali
Hobi bisa menghasilkan uang. Itulah yang dilakukan Marlin Sugama. Melalui bisnis kreatif yang digelutinya, bisnis Marlin paling tidak bisa mengantongi pemasukan sebesar separo miliar rupiah.
Merlin mengatakan, bisnis kreatif yang digelutinya sekarang ini berangkat dari hobinya yang amat gemar terhadap game. Kalau boleh disebut, Merlin merupakan pengusaha yang lahir dari hobi yang pernah populer pada tahun 2005 dengan sebutan hobinomics, yakni sebuah era ekonomi baru dimana kegiatan ekonomi dihasilkan dari sebuah hobi. Dari hobi atau kesenangan terhadap sesuatu memunculkan sebuah peluang yang bisa menghasilkan rupiah. Industri kreatif menjadi salah satu bidang industri yang berpotensi untuk tumbuhnya hobinomics ini. Tak terhitung lagi banyaknya entrepreneur yang tumbuh dan mendirikan sebuah usaha berdasarkan hobinya. Adrie Subono, Wahyu Aditya, Yorris Sebastian Nisiho, Chris Lie adalah beberapa nama di antara pelaku hobinomics. Marlin Sugama adalah salah satu diantara sekian banyak nama pelaku hobinomics di industri kreatif.
David Parrish, creative industries business adviser and trainerdalam bukunya T-Shirts and Suits: A Guide to the Business of Creativity mengungkapkan bahwa banyak orang yang mengibaratkan kreativitas dan bisnis seperti air dan minyak. “Kedua hal ini tidak bisa disatukanpadukan. Menjadikan bisnis dan kreativitas sebagai sebuat patner, ukannya saling bertentangan,” kata David dalam bukunya. Dan Marlin berhasil menggabungkan antara ide dan kreativitas dengan sisi komersial.
Marlin adalah co-founder Main Studio, sebuah perusahaan pengembang game dan animasi yang didirikan karena hobinya pada dunia entertainment digital. Berkat hobinya bermain game dan nonton film mengantarkan Marlin pada bisnis yang tak hanya sekedar menyalurkan hobi tapi juga memiliki nilai ekonomis yang tak bisa dianggap remeh.
Antara Desain dengan Story Telling
Marlin mengatakan, ide bisnisnya ini justru berawal dari hobi dan kesenangannya terhadap dunia digital entertainment khususnya game. Hobi ini akhirnya mengantar Marlin dengan dua rekannya, Andi Martin (sekarang menjadi suaminya) dan M. Fardiansyah (Fafan) membangun studio pengembang game bernama Altermyth Studio di tahun 2003. Sayangnya, 3 tahun kemudian Marlin menjual Altermyth ini ke tangan investor karena ketidaksesuaian visi. Pasca lepasnya Altermyth Studio, Marlin dengan rekan sekaligus suaminya Andi Martin dan Fafan kembali mendirikan studio pengembang game yang diberi nama Main Games Studio tepat di bulan Juli 2007.
Modal yang digelontorkan di awal pun tak lebih dari Rp100 juta karena saat itu Marlin hanya mengerjakan satu produk per waktu (one product at a time). Pengalaman berbisnis di bidang yang sama memberikan keuntungan bagi ibu dua anak ini karena jejaring yang sudah terbentuk. Meski demikian, Marlin juga merasakan kendala di awal bisnis. Di antaranya adalah memperkenalkan Main Studios pada publik karena biasanya studio baru sulit mendapat kepercayaan dari klien. Hal ini tak lain karena produk yang dijual pada dasarnya jasa. Untuk itu, portofolio dan prestasi Main Games menjadi nilai penting agar dilirik oleh kliennya. Menyadari pentingnya portofolio yang cemerlang maka Marlin memutuskan mengikuti lomba ICT Award (INAICTA) 2007 silam. “Untuk mendapatkan kepercayaan kami mengikuti banyak lomba,” jelas Marlin.
Kerja keras Marlin membuahkan hasil dengan menyabet gelar juara dalam INAICTA 2007 untuk kategori animasi. “Setelah mendapatkan prestasi berupa award, kami sudah mendapatkan kepercayaan dan pengakuan dari klien,” imbuh Marlin. Sejak itulah, order dari klien pun mulai berdatangan ke tangan Main Games Studio. Marlin sangat menyadari bisnisnya yang berbasiskan ide kreatif atau intangible asset ini sangat rawan terhadap pembajakan. Untuk itulah, intellectual property menjadi salah satu isu penting dalam bisnisnya.
Marlin pun mendirikan Main Motions Studio di tahun 2009 demi menghasilkan karya animasi yang memiliki IP, karena selama ini Main Games Studio banyak mengerjakan proyek outsourcing. Selain itu, Main Motions Studio ini berperan sebagai divisi pengembang animasi dari Main Games Studio karena tingginya demand pembuatan animasi. Terhitung Sesame Street Indonesia, Nokia, Miniclip.com, Games2Win dan Megindo menjadi klien Marlin. “Sebagian besar client studio kami masih berasal dari luar negeri seperti Amerika Serikat, Inggris dan India,” imbuh Marlin.
Salah satu produk andalan dari Main Motions Studio adalah Hebring. Hebring adalah karakter animasi yang namanya diambil dari bahasa Sunda yang artinya hebat. Hebring diciptakan pertama kali pada tahun 2007 untuk mengikuti kompetisi animasi tingkat nasional (INAICTA). “Awalnya kami tidak bermaksud untuk mengkomersialkan Hebring, namun setelah menang kompetisi Hebring jadi banyak dikenal dan banyak pihak yang menjadi tertarik untuk menggunakan jasa pembuatan animasi dari Main Studios,” ujarnya.
Ide Hebring ini datang dari rasa penasarannya dengan tidak adanya karakter fantasi yang menjadi ikon Indonesia. Akhirnya, Marlin mengangkat urban culture perkotaan dibungkus dengan cerita klasik kebaikan memerangi kejahatan. Dan jadilah Hebring sesosok pahlawan super yang berasal dari Jawa Barat yang berusaha memerangi kejahatan di ibukota Jakarta.
Menurut Marlin, konsep Hebring bukan hanya sebuah animasi semata, karena Hebring adalah produk IP yang dapat dikembangkan ke berbagai bentuk produk. Hebring sendiri memiliki keunikan karena konsepnya yang sederhana dan mudah diterima dari segi pemilihan warna dan bentuk. Pemilihan segmen urban culture ini tak lain bermaksud untuk menghindari kendala di sisi komersial. Selama ini, banyak animasi yang mengambil tema nasionalisme Indonesia, namun secara komersialtak bersahabat. Saat ini Hebring telah dikembangkan menjadi animasi, game, komik, mainan (toys) dan berbagai merchandise seperti sticker dan clothing line.
Bisnis di dunia game dan animasi memang kian menjamur. Persaingan pun kian ketat. Untuk itu, Marlin sudah menyiapkan berbagai amunisi untuk menghadapi persaingan. Marlin mendiferensiasi Main Studios dalam membangun sebuah produk.
Ibu dari Gabril Owen dan Ariel Jeska ini menyakini semua produk digital entertainment harus memiliki cerita untuk disampaikan pada end user sehingga bisa dinikmati produknya. “Jadi untuk setiap pengembangan produk kami akan membuat script terlebih dahulu, baru kemudian produksi produk tersebut kami eksekusi berdasarkan script,” jelas penggiat industri kreatif yang tergabung dalam International Game Developer Association ini. Selebihnya dengan mengutamakan kualitas produk yang berusaha di deliver oleh Marlin.
Kini Marlin boleh tersenyum lega, usaha kerasnya mulai membuahkan hasil. Di tahun keduanya, Marlin telah berhasil membukukan pendapatan sekitar 50 ribu dollar AS per bulan atau sekitar Rp 500 juta per bulan dengan asumsi satu dolar Rp 10 ribu. Marlin mematok tariff berbeda untuk masing-masing proyek.
Untuk game tarifnya dihitung berdasarkan per man per days. Sedangkan animasi dihitung dari durasi tampilan film di layar (per finished second). Dan untuk digital comic dihitung berdasarkan halaman. Sayangnya, Marlin enggan memberikan perincian lebih lanjut. Hanya saja, Marlin menegaskan dari masing-masing nilai proyek bisa meraup nett profit sekitar 25% untuk klien lokal. “Untuk klien internasional kami bisa mendapatkan profit lebih dari 100%, karena standar internasional lebih tinggi dari Indonesia,” imbuh ibu dari dua putra ini. Pecinta buku Enid Blyton ini pun mengakui bahwa profit margin bisnis game dan animasi dapat dikatakan cukup besar per project-nya. Hal ini memungkinkan karena tak membutuhkan bahan baku material. Selain itu, Marlin meraup keuntungan dari konversi dollar ataupun euro ke rupiah karena banyaknya klien internasional.
Tak mengherankan bila Main Studios mampu meraih pendapatan hampir setengah miliar per bulannya. Marlin mengungkap karena Main Studios adalah perusahaan B2B (business to business) dengan target market-nya adalah perusahaan yang ingin menggunakan jasa pembuatan game dan animasi. Kliennya sendiri pun sebagian besar adalah biro iklan (advertising) dan consultant. Selain itu, usaha yang tadinya hanya memiliki empat orang karyawan, kini mampu mempekerjakan 10 orang dalam jangka waktu satu tahun.
Marlin pun tetap optimis terhadap prospek bisnis ke depannya. “Kami yakin bisnis digital entertainment akan semakin berkembang, apalagi melihat perkembangan teknologi yang semakin cepat, semakin banyak platform baru untuk kami,” kata sarjana ekonomi lulusan Universitas Pelita Harapan ini. Secara internasional, business digital entertainment sudah terbukti berhasil mengalahkan industri entertainment lainnya. Pendapatan industri game secara keseluruhan telah berhasil mengalahkan industri Hollywood pada tahun 2002 dan industri musik pada tahun 2009 ini. Di tahun 2004 saja, nilai pasar industry game telah mencapai US$20 juta atau sekitar Rp186 triliun. Sedangkan untuk animasi, jumlah film animasi yang diputar per tahunnya terus meningkat dengan pendapatan tiket rata-rata sekelas box office Hollywood pada tahun 2009 ini. (*/SurabayaPost)
'Marlin Sugama, Membangun Bisnis Kreatif dari Hobi':
Artikel Bisnis Lainnya
- LionJobs.com, Bantu Mengentaskan Masalah Pengangguran Salah satu permasalahan bidang ketenakerjaan di Indonesia saat ini yang masih menjadi beban pemerintah yaitu terkait link and match. Untuk itu, portal job, LionJobs.com memberikan solusi masalah tersebut dengan fitur teknologi baru yaitu Compare Jobs dan Compare ... Artikel Bisnis
- Achmad Zaky, Raup Untung Lewat Bisnis TIBagi sebagian orang, berurusan dengan teknologi membuat kepala jadi pusing. Namun, bagi sebagian orang lagi, teknologi bisa menjadi hal yang sangat menyenangkan, bahkan menguntungkan. Cerdas dan berbakat. Itulah Achmad Zaky. Pria berusia 24 tahun ini memutuskan untuk menggeluti bisnis di ... Artikel Bisnis
- Indra Sosrodjojo, Tokoh Bisnis Software IndonesiaBanyak orang awam mengira bahwa bisnis software di Indonesia masih berusia muda, faktanya sektor bisnis ini di Indonesia sudah berlangsung hampir tiga dekade, dengan Indra Sosrodjojo sebagai salah satu tokoh dalam bisnis software di negeri ini. Andal Software, adalah sebuah perusahaan ... Artikel Bisnis
- Sulap Biji Alpukat Jadi BiodieselMasyarakat sering kali dibuat resah dengan tingginya harga bahan bakar yang hingga kini belum juga ada solusinya. Jika masalah ini terus terjadi, maka masyarakat Indonesia akan mengalami kelangkaan energi yang tak kunjung terselesaikan. Kabar baik datang dari tiga mahasiswa D-3 Teknik ... Artikel Bisnis
- Optimisme Pengusaha dalam Berbisnis Meningkat Optimisme para pengusaha Indonesia dalam berbisnis pada kuartal II 2012 meningkat. Menurut hasil survei yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Tendensi Bisnis (ITB) di Indonesia menyentuh poin 104,22 pada kuartal II-2012. Ini meningkat ketimbang ITB pada kuartal sebelumnya yang ... Artikel Bisnis
Jual Beli Online